Selasa, 09 Februari 2016

JALAN PEJABAT DAN PEJABAT JALAN-JALAN

Oleh : akbar silo

Membincangkan berita menarik akhir-akhir ini. Seorang sahabat saya berkelakar : “menjadi pejabat sekarang ini, susah; mo cari kerabat dibilangin mo merambat”, mo cari tempat menambat dibilangin mengembat”. Sa rasa geli juga dengernya, semuanya jadi BAT..., BAT..., BAT…. Dia tra tau klo BAT itu bisa jadi ”Biar Aja Tooooo....” pejabat cari jalan, asal jangan jalan-jalan.

JALAN PEJABAT : CARI KERABAT
Jalan pejabat adalah seseorang yang sedang meniti tataan alur yang harus ditempuh sesuai tugas dan fungsinya memangku jabatan. Maka, dalam rangka memutar roda pemerintahan dan menata pembangunan, PEJABAT mesti mencari JALAN yang tepat. Titian menuju visi yang didambakan. Mencari jalan yang tepat bermakna strategis, karena harus menemukan pilihan yang terbaik dan berdimensi jangka panjang. Tetapi, hal ini tidaklah mudah. Seorang pejabat memerlukan kerabat –dorang bilang sobat- untuk menambat hati. Jikalau hati telah tertambat, maka akan memudahkan terjadinya kerjasama, tapi jikalau sebaliknya, yang terjadi adalah kerjasalah. Peter Drucker , bilang ”What is our business and what should it be”, yang sesungguhnya bermaksud menggiring pemaknaannya pada terminologi pencarian jalan yang tepat, yaitu strategi. Terus… Prof. Salusu, bilang lagi : “strategi adalah suatu seni menggunakan kecapakan dan sumberdaya suatu organiasi untuk mencapai sasarannya melalui hubungannya yang efektif dengan lingkungan dalam kondisi yang paling menguntungkan.” Jadi, jalan yang tepat adalah jalan yang menguntungkan sehubungan dengan apa tugas seorang pejabat dan bagaimana menjalankan tugas tersebut. Pejabat yang menyadari bagaimana seharusnya menjalankan tugas tersebut akan mencari mitra, karena tak mungkin lah yaaau.... bisa kerja sendiri. Makanya salah satu jalan pejabat adalah mencari dan menemukan kerabat-sobat. Di sinilah sesungguhnya arti pentingnya seorang pejabat meninggalkan kantornya untuk menjalankan tugasnya.

PEJABAT JALAN-JALAN : JADI PERAMBAT
Sebaliknya, pejabat jalan-jalan itu adalah seorang pejabat yang pada dasarnya hanya ingin menggunakan jabatannya untuk menjadi turis, bukan mencari turis. Jika demikian halnya, maka pejabat tersebut hanya akan menghabiskan waktunya untuk merambat dari satu tempat yang indah ke tempat yang lebih indah lagi. Konsekwensinya, seluruh sumberdaya organisasi akan diembat habis..., pelan tapi pasti akan ludes dibabat deh..... Pejabat yang memilih tipe ini adalah penghambat pembangunan, karena tidak memiliki strategi pengembangan, kecuali hanya taktik penambangan pribadi, dan tidak cakap mengelola masa depan. Bayangkan.... kalau dalam masa RPJM-5tahunan dan RPJP-20tahunan, kita hanya sibuk jalan-jalan.... pupuslah masa depan itu.

JANJI POLITIK DAN STRATEGI PEMBANGUNAN
Keputusan strategik untuk memenuhi janji politik perlu di ambil sesegera mungkin, agar tidak terjadi kevacuman gerak laju implementasi misi mencapai visi. Untuk itu diperlukan analisis panjang mengenai lingkungan internal dan eksternal organisasi pemerintahan. Perpaduan hasil analisis internal-eksternal yang apik menelorkan suatu strategi jitu, di mana seluruh sumberdaya internal dimampukan dalam memainkan peran dan kontibusinya seoptimal mungkin. Pada saat bersamaan, orientasi keluar diperlukan untuk membuka jaringan kemitraan yang dapat menyumbangkan nilai tambah bagi kemanfaatan hasil-hasil pembangunan. Oleh karena itu, suatu organisasi modern sebaiknya menampilkan batas-batas peran pejabat secara jelas dalam kerangka jaringan kerja yang terkoordinasikan dan terintegrasikan.
Agak aneh, jika disuarakan bahwa bannyak pejabat di daerah ini yang selalu berada di luar dan menjadi lupa pada tupoksinya melayani publik dan membangun masyarakat dari kampung ke kota. ”Kok begitu ?” atau ”ah.. yang benar ?”. Ini adalah respon keraguan, terlepas dari benar-tidaknya sinyalemen, ada baiknya jika kita cermati perspektif  berikut : 

1.      Pemaknaan  janji politik
Kemungkinan yang bisa terjadi adalah membiasnya pemaknaan janji pemerintah. Kalau ada slogan, misalnya contoh saja : ”Kaka masuk Kampung Lagi”. Sebaiknya tidak diterjemahkan secara apa adanya, sebab yang dimaksudkan bukan berarti pejabat harus turun langsung ke setiap kampung. Tetapi maksudnya adalah bahwa program/kegiatan pembangunan yang harus turun ke kampung-kampung. Ini yang penting dan harus dilakukan sebagai upaya memenuhi janji dalam menyelesaikan issu pembangunan kampung.

2.      Strata Peran Pejabat
Reformasi birokrasi pemerintahan yang seringkali diwacanakan, berimplikasi pada bagaimana mendudukkan pejabat dalam skala peran yang jelas, sehingga tidak terjadi reduksi atau redundansi peran. Reduksi peran dapat terjadi manakala seorang pejabat tidak menjalankan fungsinya sebagaimana seharusnya, tetapi di dorong ke bawahan atau ke atasan. Sebaliknya, redundasi peran dapat terjadi manakala seorang pejabat mengambil alih fungsi-fungsi atasannya, atau malahan mengintervensi tupoksi bawahannya. Dalam perspektif manajemen pemerintahan, Top Manajemen (TM) atau Manajer Eksekutif Puncak (MEP), memiliki wewenang dan tanggung jawab penuh dalam mengelola pembangunan dengan kewajiban berbagi peran dan delegasi kewewenang.
Apabila peran-peran telah terbagi habis serta wewenang dan tanggung jawab telah terdistribusikan, maka MEP dapat berkonsentrasi untuk berpikir dan bertindak strategik dalam mengembangkan organisasi. Dalam hal ini, MEP berfokus pada bagaimana mencari dan mendapatkan ”peluang” yang ada, serta meredam ”tantangan” yang mungkin dihadapi, sebagaimana dikatakan oleh de Bono :  everyone is surrounded by opportunities, but they only exist once they have been seen. And they will only be seen if they are looked for”. Oleh karena itu, MEP tidak perlu disibukkan dengan hal-hal yang lebih bersifat teknis operasional karena telah menjadi bagian dari fungsi-fungsi bawahan. Jadi, asal bermanfaat bagi pengembangan organisasi atau masa depan pembangunan daerah mengapa tidak memberikan kesempatan kepada MEP untuk meraih peluang. Bukankah salah satu ciri organisasi modern adalah ”kekuatan yang dibangun dari jaringan kemitraan ?”. Maka, jalan pejabat menggandeng kerabat yang mau bermitra untuk berinvestasi dalam pembangunan daerah, perlu disokong. Zaman sekarang ini, telah menjadikan ”kemitraan” sebagai bagian integral dari kekuatan sumberdaya organisasi.
Oleh karena MEP menghabiskan waktunya untuk memainkan peran outward looking”, maka Manajemen Tingkat Menengah dan Manajemen Tingkat Bawah, sebaiknya dapat memanfaatkan peluang kemitraan yang diperoleh tersebut dengan menjabarkannya dalam bentuk program dan kegiatan yang menyentuh hajat hidup masyarakat hingga ke kampung-kampung terpencil dan tertinggal.

3.      Urusan eksternal dan urusan internal : Mana duluan ?
Keduanya sama pentingnya, sehingga mestinya berjalan seiring pada saat yang sama. Sambil melakukan pembenahan internal, peluang kemitraan harus terus dicari dan ditemukan. Manakala urusan eksternal diprimadonakan sementara pembenahan internal hanya dipandang sebelah mata, hanya akan menimbulkan kekacauan manajemen organisasi. Siapa yang akan menindak lanjuti peluang yang telah diraih ? Apakah organisasi telah cukup kapabel ? Apakah telah tersedia aparat perencana, pelaksana, dan pengawasan yang handal ? Oleh karena itu, secara internal organisasi pemerintahan perlu dipersiapkan hingga ke strata paling bawah. Sebaliknya, manakala hanya berfokus pada pembenahan internal saja, maka organisasi akan kehilangan banyak waktu untuk meraih peluang. Ketika pembenahan internal baru selesai dirampungkan, peluang yang ada telah dimiliki oleh kompetitor lainnya. Organisasi akan kalah langkah, karena MEP disibukkan oleh pendekatan inward looking.

Akhirnya, andaikan semua pihak di jajaran pemerintahan kita ini dapat menerapkan transparansi, akuntabilitas, dan komunikasi yang dengan baik, tentu sinyalemen di atas tidak perlu ada. 
                                                                            
                                                                   -----