JALAN PEJABAT DAN PEJABAT JALAN-JALAN
Oleh : akbar silo
Membincangkan
berita menarik akhir-akhir ini. Seorang sahabat saya berkelakar : “menjadi pejabat sekarang ini, susah; mo cari kerabat dibilangin mo merambat”, mo cari tempat
menambat dibilangin mengembat”. Sa
rasa geli juga dengernya, semuanya jadi BAT..., BAT..., BAT…. Dia tra
tau klo BAT itu bisa jadi ”Biar Aja Tooooo....” pejabat cari jalan, asal
jangan jalan-jalan.
JALAN PEJABAT : CARI
KERABAT
Jalan pejabat adalah seseorang yang sedang meniti
tataan alur yang harus ditempuh sesuai tugas dan fungsinya memangku jabatan. Maka,
dalam rangka memutar roda pemerintahan dan menata pembangunan, PEJABAT mesti
mencari JALAN yang tepat. Titian menuju visi yang didambakan. Mencari jalan
yang tepat bermakna strategis, karena harus menemukan pilihan yang terbaik dan
berdimensi jangka panjang. Tetapi, hal ini tidaklah mudah. Seorang pejabat
memerlukan kerabat –dorang bilang sobat- untuk menambat hati. Jikalau hati telah tertambat, maka akan memudahkan terjadinya kerjasama, tapi jikalau
sebaliknya, yang terjadi adalah kerjasalah. Peter Drucker , bilang
”What is our business and what should it be”, yang sesungguhnya bermaksud
menggiring pemaknaannya pada terminologi pencarian jalan yang tepat, yaitu
strategi. Terus… Prof. Salusu, bilang lagi : “strategi
adalah suatu seni menggunakan kecapakan dan sumberdaya suatu organiasi untuk
mencapai sasarannya melalui hubungannya yang efektif dengan lingkungan dalam
kondisi yang paling menguntungkan.” Jadi, jalan yang tepat adalah jalan yang menguntungkan sehubungan dengan
apa tugas seorang pejabat dan bagaimana menjalankan tugas tersebut. Pejabat
yang menyadari bagaimana seharusnya menjalankan tugas tersebut akan mencari
mitra, karena tak mungkin lah yaaau.... bisa kerja sendiri. Makanya salah satu
jalan pejabat adalah mencari dan menemukan kerabat-sobat. Di sinilah
sesungguhnya arti pentingnya seorang pejabat meninggalkan kantornya untuk
menjalankan tugasnya.
PEJABAT
JALAN-JALAN : JADI PERAMBAT
Sebaliknya, pejabat jalan-jalan itu adalah seorang
pejabat yang pada dasarnya hanya ingin menggunakan jabatannya untuk menjadi turis, bukan mencari turis. Jika demikian halnya, maka pejabat tersebut hanya
akan menghabiskan waktunya untuk merambat dari satu tempat yang indah ke tempat
yang lebih indah lagi. Konsekwensinya, seluruh sumberdaya organisasi akan diembat habis..., pelan tapi pasti akan
ludes dibabat deh..... Pejabat yang memilih
tipe ini adalah penghambat pembangunan,
karena tidak memiliki strategi pengembangan, kecuali hanya taktik penambangan
pribadi, dan tidak cakap mengelola masa depan. Bayangkan.... kalau dalam masa RPJM-5tahunan dan RPJP-20tahunan, kita hanya sibuk jalan-jalan.... pupuslah masa depan itu.
JANJI POLITIK DAN
STRATEGI PEMBANGUNAN
Keputusan strategik untuk memenuhi janji politik
perlu di ambil sesegera mungkin, agar tidak terjadi kevacuman gerak laju
implementasi misi mencapai visi. Untuk itu diperlukan analisis panjang mengenai
lingkungan internal dan eksternal organisasi pemerintahan. Perpaduan hasil
analisis internal-eksternal yang apik menelorkan suatu strategi jitu, di mana
seluruh sumberdaya internal dimampukan dalam memainkan peran dan kontibusinya
seoptimal mungkin. Pada saat bersamaan, orientasi keluar diperlukan untuk
membuka jaringan kemitraan yang dapat menyumbangkan nilai tambah bagi
kemanfaatan hasil-hasil pembangunan. Oleh karena itu, suatu organisasi modern
sebaiknya menampilkan batas-batas peran pejabat secara jelas dalam kerangka
jaringan kerja yang terkoordinasikan dan terintegrasikan.
Agak aneh, jika disuarakan bahwa bannyak pejabat di daerah ini yang selalu berada di luar dan menjadi lupa pada tupoksinya melayani publik dan membangun masyarakat dari kampung ke kota. ”Kok begitu ?” atau ”ah.. yang benar ?”. Ini adalah respon
keraguan, terlepas dari benar-tidaknya sinyalemen, ada baiknya jika kita cermati perspektif berikut :
1. Pemaknaan janji politik
Kemungkinan yang bisa terjadi adalah membiasnya
pemaknaan janji pemerintah. Kalau ada slogan, misalnya contoh saja : ”Kaka masuk Kampung Lagi”. Sebaiknya tidak diterjemahkan secara
apa adanya, sebab yang dimaksudkan bukan berarti pejabat harus
turun langsung ke setiap kampung. Tetapi maksudnya adalah bahwa
program/kegiatan pembangunan yang harus turun ke kampung-kampung. Ini yang
penting dan harus dilakukan sebagai upaya memenuhi janji dalam menyelesaikan issu pembangunan kampung.
2. Strata Peran Pejabat
Reformasi birokrasi
pemerintahan yang seringkali diwacanakan, berimplikasi pada bagaimana
mendudukkan pejabat dalam skala peran yang jelas, sehingga tidak terjadi reduksi atau redundansi peran. Reduksi peran dapat terjadi manakala seorang pejabat tidak
menjalankan fungsinya sebagaimana seharusnya, tetapi di dorong ke bawahan atau ke atasan. Sebaliknya, redundasi
peran dapat terjadi manakala seorang pejabat mengambil alih fungsi-fungsi
atasannya, atau malahan mengintervensi tupoksi bawahannya. Dalam perspektif manajemen pemerintahan, Top Manajemen (TM) atau Manajer Eksekutif Puncak (MEP), memiliki
wewenang dan tanggung jawab penuh dalam mengelola pembangunan dengan kewajiban berbagi peran dan delegasi kewewenang.
Apabila peran-peran telah
terbagi habis serta wewenang dan tanggung jawab telah terdistribusikan, maka
MEP dapat berkonsentrasi untuk berpikir dan bertindak strategik dalam
mengembangkan organisasi. Dalam hal ini, MEP berfokus pada bagaimana mencari
dan mendapatkan ”peluang” yang ada, serta meredam ”tantangan” yang mungkin
dihadapi, sebagaimana dikatakan oleh de
Bono : everyone is
surrounded by opportunities, but they only exist once they have been seen. And they will only be seen if they are
looked for”. Oleh karena itu,
MEP tidak perlu disibukkan dengan hal-hal yang lebih bersifat teknis
operasional karena telah menjadi bagian dari fungsi-fungsi bawahan. Jadi, asal
bermanfaat bagi pengembangan organisasi atau masa depan pembangunan daerah
mengapa tidak memberikan kesempatan kepada MEP untuk meraih peluang. Bukankah
salah satu ciri organisasi modern adalah ”kekuatan yang dibangun dari jaringan
kemitraan ?”. Maka, jalan pejabat
menggandeng kerabat yang mau bermitra untuk berinvestasi dalam pembangunan
daerah, perlu disokong. Zaman sekarang ini, telah menjadikan ”kemitraan”
sebagai bagian integral dari kekuatan sumberdaya organisasi.
Oleh karena MEP menghabiskan
waktunya untuk memainkan peran outward
looking”, maka Manajemen Tingkat Menengah dan Manajemen Tingkat Bawah,
sebaiknya dapat memanfaatkan peluang kemitraan yang diperoleh tersebut dengan menjabarkannya
dalam bentuk program dan kegiatan yang menyentuh hajat hidup masyarakat hingga
ke kampung-kampung terpencil dan tertinggal.
3. Urusan eksternal dan urusan internal : Mana duluan ?
Keduanya sama pentingnya,
sehingga mestinya berjalan seiring pada saat yang sama. Sambil melakukan
pembenahan internal, peluang kemitraan harus terus dicari dan ditemukan. Manakala
urusan eksternal diprimadonakan sementara pembenahan internal hanya dipandang
sebelah mata, hanya akan menimbulkan kekacauan manajemen organisasi. Siapa yang
akan menindak lanjuti peluang yang telah diraih ? Apakah organisasi telah cukup
kapabel ? Apakah telah tersedia aparat perencana, pelaksana, dan pengawasan
yang handal ? Oleh karena itu, secara internal organisasi pemerintahan perlu
dipersiapkan hingga ke strata paling bawah. Sebaliknya, manakala hanya
berfokus pada pembenahan internal saja, maka organisasi akan kehilangan banyak
waktu untuk meraih peluang. Ketika pembenahan internal baru selesai
dirampungkan, peluang yang ada telah dimiliki oleh kompetitor lainnya.
Organisasi akan kalah langkah, karena MEP disibukkan oleh pendekatan inward looking.
Akhirnya, andaikan semua pihak di jajaran pemerintahan kita ini dapat menerapkan transparansi, akuntabilitas, dan komunikasi yang dengan baik, tentu sinyalemen di atas tidak perlu ada.
-----